Kamis, 18 Maret 2021

Tupai yang Jatuh sebelum Meloncat

Helikopter Sialan

Aku sibuk mengunyah-ngunyah permen karet dan membentuknya menjadi balon. Di depanku, si Bos sedang berusaha menjelaskan rencana kami dengan bantuan white board dan spidol hitam. Ia menggambar semacam denah di atasnya. Ada juga gambar gedung-gedung yang akan mendukung rencana kami. Gedung pemerintahan (kita sebut saja GP), sebuah hotel bintang lima (kode: H), dan gedung yang menjadi sasaran kami: sebuah kantor pusat bank dengan nasabah terbanyak se-Indonesia (sebut saja, bank).

Bank itulah yang menjadi alasan kami empat anak yang baru selesai 17 tahun, sedang menjalani liburan sekolah, berkumpul di kamar si Bos. Kami sedang menrencanakan perampokan bank. Aku tidak bercanda. Itulah kenyataannya. Alasannya? Euh… sebentar, biar kuingat omongan si Dudung kemarin. “Begini Bim, ini ‘kan hanya cara kita untuk membungkam mulut orang tua sialam itu. Kalaupun kita nanti tertangkap, kita bilang saja ini ide dia. Lagipula, mana ada polisi yang percaya kalau ada anak SMA merencanakan perampokan Bank?”

Ah, ya. Jadi, suatu kali kami berempat, aku, si Bos, Dudung, dan Pipit pulang ke rumah jam dua pagi. Setelah berjam-jam di lantai dansa, kami memutuskan untuk menginap saja di rumah si Bos. Masalahnya, di antara orang tua kami hanya orang tua si Bos lah yang sedang tidak ada di rumah. Saat subuh, kami tinggal pulang dan diam-diam masuk ke rumah melalui pintu dapur. Pintu yang terbuka paling awal karena para pembantu sudah bangun sejak subuh. Saat itu, orang tua kami pasti masih nyenyak.

Orang tua kami semua memang punya pola keseharian yang sama karena mereka kakak-beradik. Aku, si Bos, Dudung, dan Pipit saudara sepupu. Rumah kami semua bersebelahan. Dari kecil kami bermain bersama. Anehnya, tidak ada rasa bosan. Malah, kami bersama-sama membentuk lingkaran pertahanan yang kokoh. Selalu kompak dalam hal apa pun. Termasuk soal pulang pagi ini.

Tapi sayang, ternyata rencana tidak berjalan semudah itu. Kami ketahuan. Saat akan keluar rumah si Bos melalui jendela, di sana sudah berdiri delapan orang. Lengkap. Termasuk orang tua si Bos yang ternyata sudah pulang sejak malam. Orang tua kami entah bagaimana mengetahui rencana ‘serangan fajar’ tersebut. Setelah melakukan hal yang sama puluhan kali, kami ketahuan. Sialan.

Kami berempat dihukum tidak keluar rumah selama liburan sekolah. Begitu keputusan orang tua kami. Kebetulan saat itu adalah awal liburan sekolah. Jadi, kami benar-benar akan terkurung di rumah selama sebulan. Mendengar itu, kami protes. Kami kan hanya pulang pagi, dan bukannya merampok bank? Kenapa harus dikurung? Kami tidak mau menjalani hukuman primitif macam itu. Kami berempat berteriak-teriak melancarkan protes Oke, kalian tidak akan dikurung di rumah asalkan bisa merampok bank, kata ayahku. Ia memang selalu bicara hal-hal aneh semacam itu. Tentu saja itu hanya omongan yang keluar begitu saja. Dia tidak benar-benar menyuruh kami merampok bank sebagai ganti hukuman kurungan.

Tapi, akhirnya karena omongan ayahku yang aneh itulah akhirnya kami ada di sini. Merencakan perampokan bank. Untuk memperlihatkan pada orang tua kami bahwa kami tidak mudah ditindas. Selain itu, kami sudah lihat film tentang anak-anak SMP yang merampok sebuah bank besar. Mereka berhasil. Ternyata, membobol bank tidak sesulit itu. Kalau anak-anak SMP piyik itu saja bisa, kenapa kami tidak?

Rencana sudah mantap. Si Bos akan membobol pertahanan keamanan. Ia sudah mempelajarinya sebelumnya. Aku bertanggung jawab soal kendaraan. Kami akan kabur dengan mobilku yang bisa menembus kecepatan 200 km/jam. Untuk itu, kami membutuhkan jalanan dikosongkan. Itu tugas Dudung. Ia akan menelepon H dan GP serta lusinan gedung di sekitarnya untuk melakukan ancaman bom pada malam sebelumnya. Ia juga akan menelepon sebuah stasiun televisi dan menyuruh mereka untuk memberitakan ancaman bom itu. Sekaligus, menyuruh orang-orang agar tidak melewati jalan tempat H dan GP berada mulai pagi hingga sore hari.
Sementara itu, Pipit akan mengawasi keadaan sekitar selama kami melancarkan aksi. Ia akan memberitahu kami jika ada sesuatu yang membahayakan.

Si Bos menutup rapat kami yang kelima itu. Besok, kami akan melakukan rapat yang terakhir guna memastikan semuanya benar-benar siap untuk hari-H.

Tidak ada komentar: